Jumat, 01 Februari 2008

Wayang Kulit Betawi

Wayang merupakan salah satu khazanah budaya yang terdapat di tanah air yang banyak ditemui di berbagai daerah, terutama di Jawa. Wayang yang amat dekat dengan masyarakatnya, wayang biasanya dimanfaatkan sebagai media penyebar berbagai informasi. Wayang, tumbuh dan berkembang seiring dengan masyarakatnya, ia mampu merubah bentuk dan tetap mendapat tempat, sekecil apapun itu.

Seperti halnya seni wayang lain, wayang kulit Betawi memilik tokoh sentral, seorang dalang. Sebagaimana lazimnya, wayang kulit Betawi ini juga menggunakan kelir, yang disini disebut "kere". Alat musik pengiringnya terdiri dari kendang, terompet, rebab, saron, keromong, kecrek, kempul dan gong. Yang tampak lain dalam wayang kulit Betawi adalah, masuknya unsur Sunda yang kental. Meski dialog dengan bahasa Betawi, namun musik pengiring hingga lantunan lagunya berasal dari tanah Pajajaran.

Sepintas, tak ada perbedaan yang berarti dengan wayang kulit lainnya. Hanya barangkali bentuk gapit atau pegangan wayang, pada wayang kulit Betawi tak dijumpai bahan tanduk, namun menggunakan rotan. Wayang kulit Betawi juga didominasi warna merah cerah.

Lakon yang sering dimainkan adalah carangan, cerita yang disusun sendiri oleh dalang dengan tokoh-tokoh dari cerita Mahabharata, tetapi khazanah cerita yang dimainkan tidak mengacu kepada sumber mana dan tidak dari babad Ramayana atau Mahabrata. Umumnya, cerita yang dimainkan sangat kontekstual dengan keadaan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, wayang kulit Betawi penampilannya lebih bebas, lebih demokratis. Logatnya pun akrab dengan masyarakat Betawi, dan dialog yang ditampilkan menggunakan bahasa Indonesia pergaulan, mudah dipahami segala lapisan masyarakat dari berbagai suku.

Hanya saja, orang Betawi diyakini hanya menggemari cerita yang seru dan lucu, sehingga kedua lakon inilah yang kerap dikedepankan para dalangnya. Ada perang dan kaya banyolan.

Walau tampilannya begitu komunikatif, wayang kulit Betawi tak sepopuler wayang kulit Jawa. Selama ini, wayang kulit Betawi hanya dimainkan di daerah pinggiran, lokasi asal tumbuhnya wayang kulit Betawi. Sepanjang perjalanan riwayatnya, wayang kulit Betawi tampil dengan penuh kesederhanaan, sehingga boleh dibilang menepikan aspek estetika, moral dan falsafah.

Di balik kesederhanaan tampilannya, wayang kulit Betawi justru sebenarnya memiliki peluang untuk tumbuh. Ia memiliki kekuatan dalam penggunaan bahasa. Selama ini, bahasa kerap menjadi halangan untuk mengenal seni wayang. Pada wayang kulit Betawi, tidak. Ia justru kekuatan. Tinggal sang dalanglah yang mengemasnya menjadi tontonan memikat.

Namun kini kondisi wayang betawi sangat memperihatinkan dimana sudah jarang sekali dipertontonkan karena minat genarasi sekarang sangat rendah sekali terhadap wayang kulit betawi yang berstatus musnah statis ini.

Wayang Kuli Betawi semata-mata sarana hiburan, tidak ada latar belakang spiritualismenya seperti dalam wayang golek atau wayang kulit jawa (ruwatan).


Dan Foresta

Tidak ada komentar: